Sunday, September 22, 2013

Film Terbaik

Posted by Unknown at 8:12 PM
Film Terbaik
oleh Mita A. Lestari


Aku begitu berhasrat menjadi sutradara. Ada kamera, kru film, naskah atau skenario film, pemeran, dan yang terpenting… ada aku, sang pembuat film.
Aku sutradara?
… sayangnya bukan.
Takdir dan mimpiku tak sejalan. Memang, masih ada naskah dan kru. Bedanya, di sini aku tampil sebagai pemeran utama dan membacakan naskah berita.
Ya, benar… aku seorang jurnalis.
Jika ada yang paling bangga dengan pekerjaan yang tidak aku impikan ini, dia adalah ibuku. Beliau selalu bilang, jadi jurnalis itu bisa menggenggam dunia karena pengetahuannya yang luas, apalagi karena aku wanita, cocok sekali, sedangkan sutradara itu kurang cocok untuk perempuan. Tidak hanya Ibu yang mendukung, kedua adik kembarku juga. Katanya, ”Bangga punya kakak jurnalis, muncul di tv, cantik, pinter, rapi…”
Jurnalis memang pekerjaan yang membanggakan. Aku tahu itu. Tapi, apa boleh buat. Aku punya mimpi. Setiap orang pun begitu. Dan impian ini layaknya angin pantai yang selalu ada, terus-menerus.
Pagi ini aku harus berangkat pagi-pagi karena letak rumah dan tempat kerjaku yang tidak dekat. Ibu membuatkan nasi goreng dan teh manis hangat. Melihat wajahku yang tak bersemangat, ”Ayo cepat dimakan, nanti terlambat.” Ibu meninggalkanku di dapur dan pergi membangunkan kedua adik lelakiku.
Tanganku masih di bawah meja makan dan mataku menatap sepiring nasi goreng yang aku tahu rasanya sudah pasti enak. Tapi, pagi ini aku enggan melahapnya. Aku tidak ingin bekerja. Aku tidak ingin jadi jurnalis. Buat film, hanya itu yang aku mau.
”Kak,” panggilan Ibu mengacak-ngacak lamunanku. ”Masih mikirin mimpimu itu?”
Aku kaget. Sudah lama sekali aku tak menyinggung ini dengan Ibu sejak kepergian Ayah.
Ya, Ayah sudah tiada, padahal beliaulah yang sangat mendukungku jadi sutradara. Karena beliau, aku punya mimpi ini, sutradara. Sejak kecil, ia sering sekali menemaniku menonton acara di televisi.
Selain nonton, ia gemar sekali membaca dan menulis. Sampai suatu hari beliau berkata ketika kami tengah nonton di bioskop, ”Kapan-kapan, Ayah ingin deh buat skenario, terus difilmin di layar lebar.” Aku melirik ke arahnya. Ya Tuhan, wajahnya penuh harap.
Lantas aku jawab penuh semangat, ”Kalau gitu biar nanti aku yang jadi sutradara, Yah.” Ia terlihat lebih gembira dari sebelumnya. ”Benar ya, Kak, kita harus buat film kalau Ayah ada umur. Film paling bagus!”
Aku tertegun, kalau Ayah ada umur
”Udahlah, Kak, jurnalis itu bukan pekerjaan yang tidak seharusnya kamu tolak. Ini rezeki luar biasa. Kamu pintar, dunia harus lihat itu. Bukan bekerja di belakang layar,” ucap Ibu.
Hatiku tak rela. Aku tetap ingin buat film. Tepatnya, buat film terbaik yang diimpikan Ayah.
Aku kuliah jurusan komunikasi. Memang, orang bilang aku cocok jadi jurnalis karena pandai bicara dan sangat suka baca (warisan Ayah). Sampai suatu ketika, teman Ibu menawarkanku bekerja di salah satu tv swasta yang baru berkembang. Karena belum ada pekerjaan, ibuku mendesak untuk menerima. Sampai akhirnya aku mengalah, mengorbankan mimpiku untuk sekolah lagi ke jurusan yang berhubungan dengan film.
Hening… aku, Ibu, dapur.
Ibu menatapku, aku menunduk.
”Setiap hari, kamu buat film, kok. Kamu pun sutradaranya.”
Aku mengangkat kepalaku mencoba mendengarkan Ibu bicara.
”Kamu ini sutradara di hidup kamu, Ibu pun begitu. Kamu mengarahkan hidupmu sendiri sekaligus menjadi pemeran utamanya. Hidup kamu itu film terbaik yang kamu buat.”
Alisku mengerut. Ibu tersenyum.
”Karena… hidup ini adalah tempat pertemuan antara pemeran utama dengan pemeran utama yang lainnya. Film yang hebat, kan, Kak? Dan, ada satu alasan lagi kenapa Ibu sebut ini film terbaik. Tahu nggak, Kak?” Ibu bertanya sambil memegang pundakku.
Aku tak berkedip, jantungku berdegup kencang.
Ibu mengulang pertanyaannya, aku menggeleng.
”Karena, skenarionya Allah yang tuliskan. Ia tahu segala yang terbaik untuk kamu. Termasuk pekerjaanmu saat ini.”
Hening… aku, Ibu, dapur.
Kata-kata Ibu terus terngiang.
Hidup kamu itu adalah film terbaik. Karena, pemeran utama bertemu dengan pemeran utama lainnya.
Dan, ini yang menusuk. Karena skenarionya Allah yang tuliskan.
Yah, dengar nggak?
Ternyata kita sudah buat film terbaik.

0 comments on "Film Terbaik"

Post a Comment

Sunday, September 22, 2013

Film Terbaik

Film Terbaik
oleh Mita A. Lestari


Aku begitu berhasrat menjadi sutradara. Ada kamera, kru film, naskah atau skenario film, pemeran, dan yang terpenting… ada aku, sang pembuat film.
Aku sutradara?
… sayangnya bukan.
Takdir dan mimpiku tak sejalan. Memang, masih ada naskah dan kru. Bedanya, di sini aku tampil sebagai pemeran utama dan membacakan naskah berita.
Ya, benar… aku seorang jurnalis.
Jika ada yang paling bangga dengan pekerjaan yang tidak aku impikan ini, dia adalah ibuku. Beliau selalu bilang, jadi jurnalis itu bisa menggenggam dunia karena pengetahuannya yang luas, apalagi karena aku wanita, cocok sekali, sedangkan sutradara itu kurang cocok untuk perempuan. Tidak hanya Ibu yang mendukung, kedua adik kembarku juga. Katanya, ”Bangga punya kakak jurnalis, muncul di tv, cantik, pinter, rapi…”
Jurnalis memang pekerjaan yang membanggakan. Aku tahu itu. Tapi, apa boleh buat. Aku punya mimpi. Setiap orang pun begitu. Dan impian ini layaknya angin pantai yang selalu ada, terus-menerus.
Pagi ini aku harus berangkat pagi-pagi karena letak rumah dan tempat kerjaku yang tidak dekat. Ibu membuatkan nasi goreng dan teh manis hangat. Melihat wajahku yang tak bersemangat, ”Ayo cepat dimakan, nanti terlambat.” Ibu meninggalkanku di dapur dan pergi membangunkan kedua adik lelakiku.
Tanganku masih di bawah meja makan dan mataku menatap sepiring nasi goreng yang aku tahu rasanya sudah pasti enak. Tapi, pagi ini aku enggan melahapnya. Aku tidak ingin bekerja. Aku tidak ingin jadi jurnalis. Buat film, hanya itu yang aku mau.
”Kak,” panggilan Ibu mengacak-ngacak lamunanku. ”Masih mikirin mimpimu itu?”
Aku kaget. Sudah lama sekali aku tak menyinggung ini dengan Ibu sejak kepergian Ayah.
Ya, Ayah sudah tiada, padahal beliaulah yang sangat mendukungku jadi sutradara. Karena beliau, aku punya mimpi ini, sutradara. Sejak kecil, ia sering sekali menemaniku menonton acara di televisi.
Selain nonton, ia gemar sekali membaca dan menulis. Sampai suatu hari beliau berkata ketika kami tengah nonton di bioskop, ”Kapan-kapan, Ayah ingin deh buat skenario, terus difilmin di layar lebar.” Aku melirik ke arahnya. Ya Tuhan, wajahnya penuh harap.
Lantas aku jawab penuh semangat, ”Kalau gitu biar nanti aku yang jadi sutradara, Yah.” Ia terlihat lebih gembira dari sebelumnya. ”Benar ya, Kak, kita harus buat film kalau Ayah ada umur. Film paling bagus!”
Aku tertegun, kalau Ayah ada umur
”Udahlah, Kak, jurnalis itu bukan pekerjaan yang tidak seharusnya kamu tolak. Ini rezeki luar biasa. Kamu pintar, dunia harus lihat itu. Bukan bekerja di belakang layar,” ucap Ibu.
Hatiku tak rela. Aku tetap ingin buat film. Tepatnya, buat film terbaik yang diimpikan Ayah.
Aku kuliah jurusan komunikasi. Memang, orang bilang aku cocok jadi jurnalis karena pandai bicara dan sangat suka baca (warisan Ayah). Sampai suatu ketika, teman Ibu menawarkanku bekerja di salah satu tv swasta yang baru berkembang. Karena belum ada pekerjaan, ibuku mendesak untuk menerima. Sampai akhirnya aku mengalah, mengorbankan mimpiku untuk sekolah lagi ke jurusan yang berhubungan dengan film.
Hening… aku, Ibu, dapur.
Ibu menatapku, aku menunduk.
”Setiap hari, kamu buat film, kok. Kamu pun sutradaranya.”
Aku mengangkat kepalaku mencoba mendengarkan Ibu bicara.
”Kamu ini sutradara di hidup kamu, Ibu pun begitu. Kamu mengarahkan hidupmu sendiri sekaligus menjadi pemeran utamanya. Hidup kamu itu film terbaik yang kamu buat.”
Alisku mengerut. Ibu tersenyum.
”Karena… hidup ini adalah tempat pertemuan antara pemeran utama dengan pemeran utama yang lainnya. Film yang hebat, kan, Kak? Dan, ada satu alasan lagi kenapa Ibu sebut ini film terbaik. Tahu nggak, Kak?” Ibu bertanya sambil memegang pundakku.
Aku tak berkedip, jantungku berdegup kencang.
Ibu mengulang pertanyaannya, aku menggeleng.
”Karena, skenarionya Allah yang tuliskan. Ia tahu segala yang terbaik untuk kamu. Termasuk pekerjaanmu saat ini.”
Hening… aku, Ibu, dapur.
Kata-kata Ibu terus terngiang.
Hidup kamu itu adalah film terbaik. Karena, pemeran utama bertemu dengan pemeran utama lainnya.
Dan, ini yang menusuk. Karena skenarionya Allah yang tuliskan.
Yah, dengar nggak?
Ternyata kita sudah buat film terbaik.

No comments:

Post a Comment

 

♪my kawaii (◕‿◕✿) Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez