Film Terbaik
oleh Mita A. Lestari
Aku begitu berhasrat menjadi sutradara. Ada kamera, kru film,
naskah atau skenario film, pemeran, dan yang terpenting… ada aku, sang
pembuat film.
Aku sutradara?
… sayangnya bukan.
Takdir dan mimpiku tak sejalan. Memang, masih ada naskah dan
kru. Bedanya, di sini aku tampil sebagai pemeran utama dan membacakan naskah
berita.
Ya, benar… aku seorang jurnalis.
Jika ada yang paling bangga dengan pekerjaan yang tidak aku
impikan ini, dia adalah ibuku. Beliau selalu bilang, jadi jurnalis itu bisa
menggenggam dunia karena pengetahuannya yang luas, apalagi karena aku wanita,
cocok sekali, sedangkan sutradara itu kurang cocok untuk perempuan. Tidak hanya
Ibu yang mendukung, kedua adik kembarku juga. Katanya, ”Bangga punya kakak
jurnalis, muncul di tv, cantik, pinter, rapi…”
Jurnalis memang pekerjaan yang membanggakan. Aku tahu itu. Tapi,
apa boleh buat. Aku punya mimpi. Setiap orang pun begitu. Dan impian ini
layaknya angin pantai yang selalu ada, terus-menerus.
Pagi ini aku harus berangkat pagi-pagi karena letak rumah dan
tempat kerjaku yang tidak dekat. Ibu membuatkan nasi goreng dan teh manis
hangat. Melihat wajahku yang tak bersemangat, ”Ayo cepat dimakan, nanti
terlambat.” Ibu meninggalkanku di dapur dan pergi membangunkan kedua adik
lelakiku.
Tanganku masih di bawah meja makan dan mataku menatap sepiring
nasi goreng yang aku tahu rasanya sudah pasti enak. Tapi, pagi ini aku enggan
melahapnya. Aku tidak ingin bekerja. Aku tidak ingin jadi jurnalis. Buat film,
hanya itu yang aku mau.
”Kak,” panggilan Ibu mengacak-ngacak lamunanku. ”Masih mikirin
mimpimu itu?”
Aku kaget. Sudah lama sekali aku tak menyinggung ini dengan Ibu
sejak kepergian Ayah.
Ya, Ayah sudah tiada, padahal beliaulah yang sangat mendukungku
jadi sutradara. Karena beliau, aku punya mimpi ini, sutradara. Sejak kecil, ia
sering sekali menemaniku menonton acara di televisi.
Selain nonton, ia gemar sekali membaca dan menulis. Sampai suatu
hari beliau berkata ketika kami tengah nonton di bioskop, ”Kapan-kapan, Ayah
ingin deh buat skenario, terus difilmin di layar lebar.” Aku
melirik ke arahnya. Ya Tuhan, wajahnya penuh harap.
Lantas aku jawab penuh semangat, ”Kalau gitu biar nanti aku yang
jadi sutradara, Yah.” Ia terlihat lebih gembira dari sebelumnya. ”Benar ya, Kak,
kita harus buat film kalau Ayah ada umur. Film paling bagus!”
Aku tertegun, kalau Ayah ada umur…
”Udahlah, Kak, jurnalis itu bukan pekerjaan yang tidak
seharusnya kamu tolak. Ini rezeki luar biasa. Kamu pintar, dunia harus lihat
itu. Bukan bekerja di belakang layar,” ucap Ibu.
Hatiku tak rela. Aku tetap ingin buat film. Tepatnya, buat film
terbaik yang diimpikan Ayah.
Aku kuliah jurusan komunikasi. Memang, orang bilang aku cocok
jadi jurnalis karena pandai bicara dan sangat suka baca (warisan Ayah). Sampai
suatu ketika, teman Ibu menawarkanku bekerja di salah satu tv swasta yang baru
berkembang. Karena belum ada pekerjaan, ibuku mendesak untuk menerima. Sampai
akhirnya aku mengalah, mengorbankan mimpiku untuk sekolah lagi ke jurusan yang
berhubungan dengan film.
Hening… aku, Ibu, dapur.
Ibu menatapku, aku menunduk.
”Setiap hari, kamu buat film, kok. Kamu pun
sutradaranya.”
Aku mengangkat kepalaku mencoba mendengarkan Ibu bicara.
”Kamu ini sutradara di hidup kamu, Ibu pun begitu. Kamu
mengarahkan hidupmu sendiri sekaligus menjadi pemeran utamanya. Hidup kamu itu
film terbaik yang kamu buat.”
Alisku mengerut. Ibu tersenyum.
”Karena… hidup ini adalah tempat pertemuan antara pemeran utama
dengan pemeran utama yang lainnya. Film yang hebat, kan, Kak? Dan,
ada satu alasan lagi kenapa Ibu sebut ini film terbaik. Tahu nggak, Kak?” Ibu
bertanya sambil memegang pundakku.
Aku tak berkedip, jantungku berdegup kencang.
Ibu mengulang pertanyaannya, aku menggeleng.
”Karena, skenarionya Allah yang tuliskan. Ia tahu segala yang
terbaik untuk kamu. Termasuk pekerjaanmu saat ini.”
Hening… aku, Ibu, dapur.
Kata-kata Ibu terus terngiang.
Hidup kamu itu adalah film terbaik. Karena, pemeran utama
bertemu dengan pemeran utama lainnya.
Dan, ini yang menusuk. Karena skenarionya Allah yang
tuliskan.
Yah, dengar nggak?
Ternyata kita sudah buat film terbaik.
0 comments on "Film Terbaik"
Post a Comment